[Cerpen] Senja Di Ujung Jalan

(gambar: sanggemintang.wordpress.com)
Sore itu, seperti sebuah deja-vu atau semacam hal yang kembali menimpanya. Kem selalu saja merasakan kejadian ini terus terjadi padanya berulang kali di setiap senja menantinya di ujung jalan itu. Tepatnya setiap kali ia mengajak anjingnya untuk berjalan di bawah langit senja. Kevin! Begitu Kem selalu memanggil anjingnya. Dan kali ini ia harus kembali meneriaki anjingnya karena sudah masuk ke rumah orang tanpa permisi. Untuk yang ke sekian kalinya.
“Sori. Anjing aku ngeganggu, ya?” tanya Kem begitu ia menghampiri anjingnya yang sudah lebih dulu masuk tanpa permisi.
            “Oh, enggak kok. Nggak sama sekali,” jawab seorang gadis sembari menyunggingkan senyum di wajahnya. Senyumannya itu membuat dagunya yang mungil dan  runcing nampak bergaris, membuat kesan manis semakin melekat padanya. “Anjing kamu lucu, ya,” ujarnya sembari terus mengelus-elus kepala anjing berjenis beagle itu dengan lembutnya.
            “Namanya Kevin,” kem mendeham pelan. “Dan... aku Kem,” cowok itu menjulurkan tangannya. Sebuah senyum sempat mengembang di wajah gadis itu sebelum akhirnya ia pun menyambut uluran tangan Kem.
“Aku Valen. Valentine.”
Mungkin bagi Valen jabatan tangan yang singkat itu tak berarti apa-apa, tapi bagi Kem ini adalah jabatan tangan yang memiliki seribu arti. Kem selalu merasa bila dunianya akan berhenti untuk beberapa detik tiap kali telapak tangannya menyapa kulit halus tangan perempuan yang ada di depannya ini. Sentuhan yang sangat singkat. Hanya tiga detik. Tapi, tiga detik yang begitu berarti untuknya. Tiga detik, di mana Kem selalu mengagumi sorot mata dan juga garis senyum perempuan itu. Tiga detik, di mana Kem selalu merasa kembali ke masa lalu. Masa di mana Kem merasa bila itu adalah awal deja-vu ini terus terjadi padanya, menimpanya berulang kali.
***
Saat senja baru akan mewarnai langit dengan warna jingganya yang anggun, perhatian Kem akan selalu tertuju ke sudut rumah yang berada di ujung jalan itu. Sebenarnya tak ada nilai lebih dengan rumah itu. Tak ada nilai histori maupun nilai seni. Hanya saja ada sesuatu yang telah terlanjur menarik perhatiannya. Seorang gadis yang selalu berada di teras rumah itu. Lengkap dengan peralatan lukisnya. Gadis itu akan duduk di atas sebuah bangku plastik tanpa sandaran yang berwarna hijau. Di depannya selalu berdiri sebuah kanvas yang sudah melekat dengan easelnya. Kemeja putih yang sudah tampak lusuh seringkali ia kenakan saat akan melukis. Kemejanya itu selalu tampak tempias oleh bulir-bulir yang berwarna-warni tak beraturan. Sepertinya bulir-bulir di kemejanya itu ia dapatkan dari percikan-percikan cat warna, bila mengingat penampilannya yang seperti pelukis. Rambutnya yang panjang selalu ia kuncir seperti ekor kuda, membuat lehernya yang ramping nampak lebih jenjang.
            Kem tak pernah sekalipun bertegur sapa dengan gadis itu, walaupun sebenarnya Kem terbilang sering melintas di depan rumahnya tiap kali ia akan berangkat maupun pulang sekolah. Kem pasti melintasi rumah itu karena rumah itu berada tepat di ujung jalan komplek perumahannya. Jalan satu-satunya yang pasti ia lalui untuk masuk maupun keluar dari komplek perumahannya. Tapi, Kem akan lebih senang melintasi rumah itu kala senja sudah akan melukiskan warnanya di langit biru. Maka, saat itulah ia akan melihat seorang gadis yang berada di teras rumahnya lengkap dengan kanvas dan alat lukisnya. Mata gadis itu akan tampak menancap dengan detail ke langit senja, dan tangannya akan menggerakkan kuasnya naik dan turun, ke kanan dan ke kiri dengan lihainya. Guratan-guratan seni mulai ia sayatkan di atas kanvasnya. Gadis itu tampak seperti pelukis yang sudah melalang buana ke berbagai negara yang menyimpan pemandangan alam yang mengagumkan. Lalu ia akan melukiskannya dan menjual hasil karyanya dengan harga selangit. Bisa dibilang ia seperti seorang maestro lukis. Walau sebenarnya soal maestro lukis itu hanyalah pendapat Kem semata, karena ia belum pernah sekalipun melihat lukisannya.
            Namun, pada akhirnya keinginan Kem untuk melihat lukisan sang maestro di ujung jalan itu pun terwujud. Ia tak pernah menyangka sebelumnya bisa berkenalan dengan gadis misterius yang nampak manis itu. Gadis itu layaknya Eva Green di film 300: Rise of Empire. Perempuan yang memiliki dua sisi yang berbeda, cantik sekaligus penuh misteri. Setidaknya itulah penilaian Kem kepada gadis pemilik wajah oriental itu.
            Perkenalan Kem dengan gadis pelukis itu terjadi saat ia tengah berjalan dengan anjingnya di bawah langit senja. Tanpa disadarinya tali yang mengikat leher anjingnya itu terlepas sehingga membuat anjingnya berlari sesuka hati. Anjingnya itu berlari dengan gesitnya hingga ia masuk ke sebuah rumah yang berada di ujung jalan. Ya, tepat ke rumah gadis pelukis itu. Kem pun mengejar anjingnya dengan tertatih-tatih, berharap anjingnya itu tak dipukuli oleh pemilik rumah karena berkemih di atas rumputnya. Namun, ternyata Kem salah. Saat ia sampai di depan pagar rumah itu, Kem melihat anjingnya tengah duduk dengan tenangnya. Lidahnya menjulur keluar. Bahkan ekornya tampak menjulang, bergerak ke kanan dan ke kiri dengan cepat, seperti sebuah metronome. Anjingnya nampak menikmati belaian halus tangan sang gadis pelukis itu.
“Sori. Anjing aku ngeganggu, ya?” sahut Kem seraya membuka pintu pagar berwarna hijau muda itu.
            “Oh, enggak kok. Nggak sama sekali,” jawab gadis itu sembari mengembangkan senyumnya. “Anjing kamu lucu, ya.”
“Namanya Kevin,” Kem tersenyum simpul. “Kamu suka anjing juga?”
Gadis itu mengangguk pelan, “Apalagi kalau anjingnya kecil seperti punya kamu ini.”
“Ras beagle.”
“Apa?”
“Anjing itu golongan ras beagle.”
“Ooh...,” gadis itu mengangguk.
“Oh, iya. Nama aku Kem,” Kem menjulurkan tangannya.
Gadis itu tersenyum sebelum akhirnya ia menjabat tangan Kem. “Valen... Valentine.”
Itulah saat-saat di mana Kem mulai mengenal Valen. Saat di mana mereka mulai saling berbagi cerita. Banyak hal yang mereka bagi di senja pertama mereka berdua. Seperti Kem yang memberitahu nama ‘Kem’ yang bisa disematkan padanya karena ia lahir di musim kemarau. Nama panjangnya adalah Kemedry. Perpaduan antara ‘kemarau’ dan ‘dry’. Sedangkan untuk Valentine, pastinya namanya itu disematkan padanya karena ia lahir tepat di hari Valentine.
Tapi dari sekian banyak hal yang Kem dapat di hari itu, ada hal yang paling membekas di benaknya. Itu adalah saat ia tahu bila gadis itu bukanlah seperti Eva Green di film 300: Rise of Empire, melainkan seperti Zooey Deschanel di film 500 Day of Summer. Terlihat dingin dari luar, namun begitu hangat saat sudah mengenalnya lebih dalam. Selain itu, lukisan Valen juga menjadi hal yang paling melekat di benaknya. Ia bisa melihat bagaimana awan yang berarak di langit senja dapat dilukis dengan begitu hidupnya. Bahkan garis awan dan gradasi warnanya pun terlihat begitu nyata. Benar-benar seperti lukisan seorang maestro, batin Kem memuji.
***
            Senja kedua. Hari itu Kem pulang sekolah lebih sore dari biasanya. Maklum, menjadi siswa kelas 3 SMA membuatnya mendapatkan pelajaran tambahan dari sekolah. Mungkin untuk murid-murid lain pelajaran tambahan itu sangat dibutuhkan mengingat mereka akan menghadapi Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Nasional, namun bagi Kem pelajaran tambahan itu sedikit mengganggunya. Ya, pelajaran tambahan itu mengganggunya untuk segera berjumpa dengan Valen. Ia sudah tak sabar.
            Valentine memang suka dengan senja. Ia juga akan selalu muncul di saat senja hadir. Pertemuan singkat mereka kemarin ternyata memberikan sedikit bekas kepada Kem. Ia merasa bila Valen adalah gadis yang menyenangkan. Suaranya selalu terdengar pelan dan lirih. Seperti orang yang terkena asma atau sesak napas. Tapi, suara itu justru terdengar lucu di telinga Kem. Sorot matanya selalu menyiratkan sebuah kebahagiaan. Bibir tipisnya selalu nampak menggemaskan tiap kali ia tersenyum. Oh, Tuhan, apa ini yang namanya cinta pada pandangan pertama? Kem membatin.
            Angan serta khayalan Kem tentang ia dan juga Valentine seolah tergambar jelas di benaknya. Ia sudah tak sabar lagi untuk mewujudkannya. Sejauh kakinya melangkah, sebuah senyum selalu tersungging di wajahnya. Nampaknya khayalannya itu membuatnya seperti orang gila yang senang cengar-cengir sendirian. Ia terlalu senang dengan angannya. Langkah kakinya terus berjalan dengan penuh semangat, seperti hatinya. Namun, baru saja ia melewati portal di ujung kompleknya, langkahnya sedikit melambat.
            Ke mana dia? Tanya Kem membatin. Matanya menerawang mencari Valentine dari kejauhan. Tak dapat ia temukan jejak Valentine sedikit pun. Tak ada easel, tak ada bangku, juga tak ada Valentine di teras rumahnya. Hanya ada halaman kosong dengan rerumputan yang nampak kering. Ia masih melanjutkan langkahnya dengan terus bertanya di dalam hatinya, ke mana dia?
            Langkahnya terhenti tepat di depan pagar rumah Valentine. Matanya menerawang, memandangi seluruh halaman rumah Valentine yang nampak kosong itu. Hanya ada lampu teras yang dibiarkan menyala. Matanya menelisik, memandangi kaca-kaca di rumah itu yang nampak gelap. Kosong. Rumah itu seperti tak berpenghuni. Ia ingin memanggil, namun ia takut akan mengganggu. Maka, ia urungkan niatnya itu.
Apa aku terlambat datang? Kem menerka-nerka. Keningnya mengerut. Ia mendongakkan kepalanya, mengalihkan perhatiannya ke langit sore. Apa karena hari ini senja tak terlalu indah untuk dilukiskan, sehingga dia enggan untuk melukis? atau... batin Kem terus menerka-nerka dan bertanya-tanya. Dengan sedikit ragu, ia melangkahkan kakinya untuk pulang. Entah mengapa kakinya kali ini terasa berat untuk ia gerakkan. Ia seperti enggan meninggalkan rumah itu. Ia hanya berharap jika esok senja akan kembali indah dan ia bisa bertemu lagi dengan Valentine.
***
            Senja ketiga. Hari ini Kem melangkah pulang dengan sedikit tergesah-gesah. Ada senyum yang merekah di wajahnya. Tak ada pelajaran tambahan hari ini! batin Kem melonjak kegirangan. Ia bisa pulang lebih cepat dari hari kemarin. Itu tandanya, ia bisa menunggu di depan rumah Valentine lebih cepat dari senja.
            Siang ini Kem pulang dengan berjalan sedikit memutar. Ia ingin membeli sesuatu untuk Valentine. Ia teringat dengan ucapan Doni, teman sekelasnya yang mengatakan jika cowok ingin menunjukkan rasa sayangnya kepada seorang gadis, maka ia harus memberikannya sesuatu yang sangat melekat pada gadis itu. Jadi gadis itu akan selalu ingat kepada ‘si pemberi benda’ bila tiap kali ia memandangi, bermain, atau mengenakan benda itu. Mendengar itu membuat Kem segera berpikir benda apa yang bisa ia berikan kepada Valentine agar gadis itu selalu ingat kepadanya.
            “Dia sangat senang melukis. Bagaimana kalau aku belikan dia kuas?” Kem bertanya kepada Doni. Ia sedang berdiskusi dengan temannya itu.
            “Jangan. Kurang bernilai.”
            “Lantas apa yang harus kuberikan padanya?” Kem menyerah ketika semua benda yang disebutkannya tak ada yang disetujui oleh Doni.
            Doni mengernyitkan keningnya. Ia nampak begitu khusuk berpikir. Wajahnya sedikit tertunduk. Matanya terpejam. Jemarinya nampak mengetuk-ngetukkan dagunya. Beginilah kalau seorang mak comblang sudah berpikir serius. Ya, Doni adalah seorang mak comblang yang namanya sudah tenar di sekolahan. Satu sekolahan tahu bila ia sudah berhasil menjodohkan lebih dari 20 pasangan di sekolahnya. Makanya Kem tak ragu untuk meminta pendapatnya soal ini.
            “Belikan saja dia bros!” seru Doni yang seketika membuat gerakan. Kem terperanjat dibuatnya.
            “Bros?” Kem mengernyitkan keningnya. “Apa ada kaitannya bros dengan hobi melukis? Bukankah kau bilang kalau aku harus memberikan sesuatu yang melekat dengan dirinya.”
            Doni berdecak. “Nggak semua. Terkadang kita harus memberikan sesuatu yang tak terduga, yang membuatnya bisa menyukai hal baru yang kita berikan,” jelasnya.
            Kem mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia seperti baru mendapatkan nasehat dari orang tuanya. Bahkan ia tak pernah seserius ini mendengarkan saat ia tengah dinasehati orang tuanya. Tapi, bukankah memang terkadang kita lebih sering mendengarkan nasehat seorang teman daripada nasehat orang tua. Jaman yang lucu, kan?
            Setelah semua penjelasan dari Doni yang sangat masuk akal, akhirnya diputuskanlah bila Kem akan membeli sebuah bros berlambangkan bunga mawar untuk Valentine. Bunga mawar adalah lambang supremasi dari cinta. Tak ada yang meragukan itu. Valentine akan mengenakan bros berlambang bunga mawar itu dengan penuh cinta. Setidaknya itu yang dikatakan oleh Doni untuk meyakinkan Kem.
***
            Senja keempat. Senja, kini menjadi hal yang paling menyenangkan bagi Kem. Karena saat senjalah ia bisa bertemu dengan gadis yang kini telah menjadi pujaan hatinya, Valentine. Namun, nampak ada yang aneh dengan Valen tepat di hari itu, senja ke-lima mereka. Kem terlihat seperti orang yang asing baginya. Bahkan mereka seperti tak pernah saling mengenal sebelumnya. Awalnya Kem menganggap itu hanyalah bercandaan Valen, namun ternyata Kem salah.
            “Pergilah! Aku tak mengenalmu!” pekiknya dengan mata yang terbelalak. Kem sempat terperanjat dengan sergahan Valen. Ia tak mengerti mengapa Valen bisa semurka ini kepadanya. Bahkan Kevin sempat mengaing sambil menundukkan tubuhnya seperti orang yang tiarap saat mendengar pekikan Valentine tadi. Anjing itu mengira bila ia sedang dimarahi.
            “Lihatlah perbuatanmu! Kau telah membuat Kevin takut seperti ini.” Valentine segera mengangkat anjing itu dan menggendongnya. Ia membawa anjing itu masuk ke dalam rumahnya. Sementara itu Kem hanya bisa mematung melihat kepergian Valentine.
Apa yang salah? Apa aku pernah berbuat salah padanya? Kem membatin penuh tanya. Apa kepalanya baru saja tertimpa genting rumahnya hingga ia amnesia? Tapi bila iya, mengapa Valen masih mengenal anjingku? Bahkan ia masih ingat betul nama anjingku. Tapi bila ia marah padaku, mengapa ia masih mengenakan bros berlambang mawar di kemejanya yang kuberikan di senja ke-tiga kami? Kem mengernyitkan dahinya. Ia membatin penuh tanya. Sejak saat itu Kem jadi sedikit ragu tiap kali ingin menegur Valen saat ia melintas tepat di depan rumahnya. Ia takut Valen membencinya karena hal yang ia sendiri tak pahami.
            Tak ada pertanyaan yang tak ada jawabannya. Setelah berhari-hari ia tak juga menemukan jawaban dari sikap Valen yang secara tiba-tiba berubah kepadanya, pada akhirnya, di senja ke-tujuhnya ia pun mendapatkan jawaban itu. Tepat di bawah langit senja yang kala itu warna jigganya tengah memudar. Kem duduk di sebuah bangku taman dengan seorang gadis berwajah mirip dengan Valen. Gadis itu bernama, Rose. Ia adalah kakak Valen. Rose bercerita tentang adik semata wayangnya itu dan juga penyakit yang dideritanya. Ya, rupanya sikap Valentine yang tiba-tiba saja berubah itu dikarenakan ia tengah mengidap sebuah penyakit. Penyakit yang tergolong berat. Bahkan untuk gadis seusianya. Valentine mengidap alzheimer, penyakit yang menyerang otaknya.
            “Lalu apa yang membuat penyakit itu berbahaya, kak?” tanya Kem yang masih asing dengan istilah penyakit itu. Bahkan baginya nama penyakit itu lebih bagus dari nama sebuah negara.
            Kak rose nampak menyeka air matanya yang sempat jatuh membasahi pipinya. Ya, ia bercerita tentang adiknya dengan suasana yang sedu sedan. Sendunya mengiringi tiap kata yang ia ucapkan. Ia sungguh tak kuasa menahan kesedihannya bila harus mengingat penyakit yang diderita adiknya itu. Bahkan ia sempat berharap kepada sang Illahi jika seandainya bisa, lebih baik penyakit itu dipindahkan kepada dirinya saja. Sebesar itulah cinta kakak kepada adiknya.
“Dampak dari penyakitnya itu adalah memorinya akan hilang. Memori jangka panjang maupun jangka pendeknya secara perlahan akan hilang dari ingatannya,” ia sempat berhenti sejenak. Ia menatap Kem dalam-dalam. “Termasuk kamu. Ingatannya tentang kamu pun perlahan akan pudar dan hilang.”
            Deg! Kem tersentak dibuatnya. Dadanya mendadak terasa sesak. Jantungnya terasa memburu. Kalimat terakhir yang diucapkan kak Rose tadi layaknya tombak yang menghunjam jantungnya. Sakit dan menyesakkan! Ia mematung. Bibirnya kelu. Tubuhnya gemetar. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika ia benar-benar sirna dari ingatan Valentine.
Mengapa bisa sepert ini? mengapa harus terjadi seperti ini di saat cinta itu mulai tumbuh dan bersemi? Untuk apa mencintai seseorang jika pada kenyataannya untuk mengingatku saja ia tak bisa. Kem membatin. Ia tak marah kepada Valentine. Ia hanya marah kepada keadaan. Mengapa penyakit yang namanya saja sulit untuk disebut itu harus ada. Mengapa penyakit itu harus menyerang Valentine. Tak adakah orang lain yang bisa diserangnya?! Kem benar-benar terguncang.
Kak Rose mendekati Kem. Ia mengelus bahu Kem penuh kehangatan. Ia tahu Kem tengah terguncang. “Kamu tahu, Kem, kalau kamu adalah teman pertama Valentine,” ujar perempuan itu lirih.
            Kem memandangi kak Rose untuk sesaat. Ia menggeleng.
            Perempuan itu tersenyum simpul. Ia melepaskan tangannya dari bahu Kem. Untuk Sesaat ia menghela napas panjang. “Sejak divonis Dokter mengidap peyakit itu dua tahun lalu, Valentine tak lagi memiliki teman. Karena itu kami memutuskan untuk pindah rumah,” bibirnya bergetar. Isaknya akan kembali pecah, namun ia mencoba membendungnya.
            “Dan kakak dapat sedikit bernapas lega saat kamu hadir. Kamulah orang pertama yang bisa membuatnya kembali tertawa. Kamu orang yang membuatnya tak lagi merasa linglung, Kem.”
            Kem tersentuh mendengarnya. Ya, masih melekat betul di benaknya bagaimana Valentine tertawa di senja pertama dan di senja ketiga mereka. Bahkan senyumnya itulah yang selalu membuat langkahnya terasa begitu ringan saat pulang sekolah. Senyum yang membuatnya yakin bila Tuhan memang maha pencipta yang agung. Bahkan Dia bisa menciptakan makhluk secantik itu.
            “Kem. Kakak berharap kamu untuk tidak menyerah. Kakak berharap kamu tetap berjuang untuk Valentine.”
            “Tapi, kak. Bagaimana bisa aku berjuang untuk seseorang yang bisa melupakanku kapan saja?” tanyanya tergeragap.
            Kak Rose menatapnya penuh makna. Ia tersenyum simpul. “Valentine tak pernah melupakanmu, Kem. Penyakitnyalah yang memaksanya. Jauh di dalam dirinya, ia begitu mengingatmu, ia juga merindukanmu.”
            “Kenapa kakak bisa seyakin itu?”
            Kak Rose masih tersenyum simpul. Kali ini garis senyumnya lebih panjang. “Ia masih selalu ingat untuk mengenakan bros yang kamu berikan padanya. Jujur, kakak tak pernah sekalipun memintanya atau mengenakan bros itu dibajunya. Dialah yang memasangnya sendiri.”
            Kem terenyak. Tak disangkanya ternyata bros itu benar-benar membuat Valentine selalu mengingatnya. Kali ini ada sorak-sorai yang bergemuruh di dada Kem. Seperti ada harapan yang kembali nyata. Harapan yang kembali hidup setelah sempat patah dan hancur. Ada senyum yang merekah di balik sedihnya.
***
            Senja bagi Kem tak ‘kan pernah usai. Ia selalu suka senja semenjak kehadiran gadis itu. Valentine, seorang gadis pemilik bibir tipis serta dagu yang runcing dan mungil. Kem selalu suka melihat garis senyumnya yang melengkung di wajahnya, memberikan garis di dagunya yang mungil dan runcing itu. Membuat kesan manis benar-benar melekat padanya. Kem juga selalu suka dengan bola matanya yang berwarna hitam. Bola matanya yang hitam itu selalu terlihat memenuhi seluruh garis matanya yang tipis saat ia tengah memandangi langit senja dengan teliti.
            Bagi Kem, bisa mengenal Valentine adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan padanya. Ketidak percayaannya tentang keberadaan bidadari ataupun malaikat tak bersayap selama ini dapat sirna dengan mudahnya begitu ia mengenal Valentine, gadis pelukis senja di ujung jalan. Kem tak ingin melepasnya begitu saja. Biarlah bila Valen tak lagi mengingatnya hari demi hari, senja demi senja, hingga saat ia tak bisa lagi menggoreskan ujung kuasnya ke permukaan kanvas yang kasar itu. Kem akan selalu ada untuknya. Selalu ada di sisinya untuk menyingkirkan sedikit kesepiannya akan seseorang yang ia butuhkan. Kem tak peduli dengan penyakit yang namanya begitu asing baginya itu. Walaupun ia harus berulang kali memperkenalkan dirinya kepada Valen, menganggap dirinya sebagai orang yang baru dikenal oleh Valen, ia akan terus melakukan itu. Walau Kem tahu bila ceritanya bersama Valen hari ini akan hilang dari memorinya saat esok menjelang. Ia tak lagi peduli. Kem ingin melakukan itu karena ia tahu bila Valentine telah memberikan warna di dalam hari-harinya. Seperti senja yang memberikan warna jingga kepada langit biru. Bagi Kem, Valentine adalah senja yang selalu ia nanti di ujung jalan ini.
            Kini, Kem mengerti bila cinta memang tak selalu bisa diucapkan, tapi cinta selalu bisa ditunjukkan. Cinta memang tak selalu bisa dimiliki, tapi cinta selalu bisa diperjuangkan.
Hanya satu hal yang selalu menjadi bekal Kem untuk dapat selalu berada di dekat Valen. “Valentine tak pernah lupa dengan melukis dan ia juga tak pernah lupa bila ia sangat menyukai anjing,” begitulah ucapan Rose yang selalu terngiang di benak Kem.
***
“Sori. Anjing aku ngeganggu, ya?”
            “Enggak kok. Nggak sama sekali. Kebetulan aku juga suka anjing.”
“Oh, ya? kenalin, nama aku Kem.”
“Aku Valen... Valentine”
-End-


NB: Cerpen ini telah terpilih dan diterbitkan bersama di dalam buku "JATUH CINTA DIAM-DIAM 2 (DWITASARI & FRIENDS)" terbitan Bentang Pustaka.

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

2 Responses to [Cerpen] Senja Di Ujung Jalan

  1. udah lama gak baca cerpen seru juga... thanks

    BalasHapus
  2. Hmmm endingnya tuh kayak nyesek T_T

    Tapi di sisi lain ada yang bisa diambil

    BalasHapus

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.