Sore
itu, seperti sebuah deja-vu atau
semacam hal yang kembali menimpanya. Kem selalu saja merasakan kejadian ini
terus terjadi padanya berulang kali di setiap senja menantinya di ujung jalan
itu. Tepatnya setiap kali ia mengajak anjingnya untuk berjalan di bawah langit
senja. Kevin! Begitu Kem selalu memanggil anjingnya. Dan kali ini ia harus
kembali meneriaki anjingnya karena sudah masuk ke rumah orang tanpa permisi. Untuk
yang ke sekian kalinya.
“Sori.
Anjing aku ngeganggu, ya?” tanya Kem begitu ia menghampiri anjingnya yang sudah
lebih dulu masuk tanpa permisi.
“Oh, enggak kok. Nggak sama sekali,”
jawab seorang gadis sembari menyunggingkan senyum di wajahnya. Senyumannya itu
membuat dagunya yang mungil dan runcing
nampak bergaris, membuat kesan manis semakin melekat padanya. “Anjing kamu
lucu, ya,” ujarnya sembari terus mengelus-elus kepala anjing berjenis beagle itu dengan lembutnya.
“Namanya Kevin,” kem mendeham pelan.
“Dan... aku Kem,” cowok itu menjulurkan tangannya. Sebuah senyum sempat
mengembang di wajah gadis itu sebelum akhirnya ia pun menyambut uluran tangan
Kem.
“Aku
Valen. Valentine.”
Mungkin
bagi Valen jabatan tangan yang singkat itu tak berarti apa-apa, tapi bagi Kem
ini adalah jabatan tangan yang memiliki seribu arti. Kem selalu merasa bila
dunianya akan berhenti untuk beberapa detik tiap kali telapak tangannya menyapa
kulit halus tangan perempuan yang ada di depannya ini. Sentuhan yang sangat
singkat. Hanya tiga detik. Tapi, tiga detik yang begitu berarti untuknya. Tiga
detik, di mana Kem selalu mengagumi sorot mata dan juga garis senyum perempuan
itu. Tiga detik, di mana Kem selalu merasa kembali ke masa lalu. Masa di mana
Kem merasa bila itu adalah awal deja-vu
ini terus terjadi padanya, menimpanya berulang kali.
***
Saat
senja baru akan mewarnai langit dengan warna jingganya yang anggun, perhatian
Kem akan selalu tertuju ke sudut rumah yang berada di ujung jalan itu.
Sebenarnya tak ada nilai lebih dengan rumah itu. Tak ada nilai histori maupun
nilai seni. Hanya saja ada sesuatu yang telah terlanjur menarik perhatiannya.
Seorang gadis yang selalu berada di teras rumah itu. Lengkap dengan peralatan
lukisnya. Gadis itu akan duduk di atas sebuah bangku plastik tanpa sandaran
yang berwarna hijau. Di depannya selalu berdiri sebuah kanvas yang sudah
melekat dengan easelnya. Kemeja putih
yang sudah tampak lusuh seringkali ia kenakan saat akan melukis. Kemejanya itu selalu
tampak tempias oleh bulir-bulir yang berwarna-warni tak beraturan. Sepertinya
bulir-bulir di kemejanya itu ia dapatkan dari percikan-percikan cat warna, bila
mengingat penampilannya yang seperti pelukis. Rambutnya yang panjang selalu ia
kuncir seperti ekor kuda, membuat lehernya yang ramping nampak lebih jenjang.
Kem tak pernah sekalipun bertegur
sapa dengan gadis itu, walaupun sebenarnya Kem terbilang sering melintas di
depan rumahnya tiap kali ia akan berangkat maupun pulang sekolah. Kem pasti
melintasi rumah itu karena rumah itu berada tepat di ujung jalan komplek perumahannya.
Jalan satu-satunya yang pasti ia lalui untuk masuk maupun keluar dari komplek
perumahannya. Tapi, Kem akan lebih senang melintasi rumah itu kala senja sudah
akan melukiskan warnanya di langit biru. Maka, saat itulah ia akan melihat
seorang gadis yang berada di teras rumahnya lengkap dengan kanvas dan alat lukisnya.
Mata gadis itu akan tampak menancap dengan detail ke langit senja, dan
tangannya akan menggerakkan kuasnya naik dan turun, ke kanan dan ke kiri dengan
lihainya. Guratan-guratan seni mulai ia sayatkan di atas kanvasnya. Gadis itu
tampak seperti pelukis yang sudah melalang buana ke berbagai negara yang
menyimpan pemandangan alam yang mengagumkan. Lalu ia akan melukiskannya dan
menjual hasil karyanya dengan harga selangit. Bisa dibilang ia seperti seorang
maestro lukis. Walau sebenarnya soal maestro lukis itu hanyalah pendapat Kem semata,
karena ia belum pernah sekalipun melihat lukisannya.
Namun, pada akhirnya keinginan Kem
untuk melihat lukisan sang maestro di ujung jalan itu pun terwujud. Ia tak
pernah menyangka sebelumnya bisa berkenalan dengan gadis misterius yang nampak
manis itu. Gadis itu layaknya Eva Green di film 300: Rise of Empire. Perempuan yang memiliki dua sisi yang berbeda,
cantik sekaligus penuh misteri. Setidaknya itulah penilaian Kem kepada gadis
pemilik wajah oriental itu.
Perkenalan Kem dengan gadis pelukis
itu terjadi saat ia tengah berjalan dengan anjingnya di bawah langit senja.
Tanpa disadarinya tali yang mengikat leher anjingnya itu terlepas sehingga membuat
anjingnya berlari sesuka hati. Anjingnya itu berlari dengan gesitnya hingga ia
masuk ke sebuah rumah yang berada di ujung jalan. Ya, tepat ke rumah gadis
pelukis itu. Kem pun mengejar anjingnya dengan tertatih-tatih, berharap
anjingnya itu tak dipukuli oleh pemilik rumah karena berkemih di atas
rumputnya. Namun, ternyata Kem salah. Saat ia sampai di depan pagar rumah itu,
Kem melihat anjingnya tengah duduk dengan tenangnya. Lidahnya menjulur keluar. Bahkan
ekornya tampak menjulang, bergerak ke kanan dan ke kiri dengan cepat, seperti
sebuah metronome. Anjingnya nampak
menikmati belaian halus tangan sang gadis pelukis itu.
“Sori.
Anjing aku ngeganggu, ya?” sahut Kem seraya membuka pintu pagar berwarna hijau
muda itu.
“Oh, enggak kok. Nggak sama sekali,”
jawab gadis itu sembari mengembangkan senyumnya. “Anjing kamu lucu, ya.”
“Namanya
Kevin,” Kem tersenyum simpul. “Kamu suka anjing juga?”
Gadis
itu mengangguk pelan, “Apalagi kalau anjingnya kecil seperti punya kamu ini.”
“Ras
beagle.”
“Apa?”
“Anjing
itu golongan ras beagle.”
“Ooh...,”
gadis itu mengangguk.
“Oh,
iya. Nama aku Kem,” Kem menjulurkan tangannya.
Gadis
itu tersenyum sebelum akhirnya ia menjabat tangan Kem. “Valen... Valentine.”
Itulah
saat-saat di mana Kem mulai mengenal Valen. Saat di mana mereka mulai saling
berbagi cerita. Banyak hal yang mereka bagi di senja pertama mereka berdua.
Seperti Kem yang memberitahu nama ‘Kem’ yang bisa disematkan padanya karena ia
lahir di musim kemarau. Nama panjangnya adalah Kemedry. Perpaduan antara ‘kemarau’
dan ‘dry’. Sedangkan untuk Valentine,
pastinya namanya itu disematkan padanya karena ia lahir tepat di hari Valentine.
Tapi
dari sekian banyak hal yang Kem dapat di hari itu, ada hal yang paling membekas
di benaknya. Itu adalah saat ia tahu bila gadis itu bukanlah seperti Eva Green
di film 300: Rise of Empire,
melainkan seperti Zooey Deschanel di film 500
Day of Summer. Terlihat dingin dari luar, namun begitu hangat saat sudah
mengenalnya lebih dalam. Selain itu, lukisan Valen juga menjadi hal yang paling
melekat di benaknya. Ia bisa melihat bagaimana awan yang berarak di langit
senja dapat dilukis dengan begitu hidupnya. Bahkan garis awan dan gradasi
warnanya pun terlihat begitu nyata. Benar-benar seperti lukisan seorang
maestro, batin Kem memuji.
***
Senja kedua. Hari itu Kem pulang
sekolah lebih sore dari biasanya. Maklum, menjadi siswa kelas 3 SMA membuatnya
mendapatkan pelajaran tambahan dari sekolah. Mungkin untuk murid-murid lain
pelajaran tambahan itu sangat dibutuhkan mengingat mereka akan menghadapi Ujian
Akhir Sekolah dan Ujian Nasional, namun bagi Kem pelajaran tambahan itu sedikit
mengganggunya. Ya, pelajaran tambahan itu mengganggunya untuk segera berjumpa
dengan Valen. Ia sudah tak sabar.
Valentine memang suka dengan senja.
Ia juga akan selalu muncul di saat senja hadir. Pertemuan singkat mereka
kemarin ternyata memberikan sedikit bekas kepada Kem. Ia merasa bila Valen
adalah gadis yang menyenangkan. Suaranya selalu terdengar pelan dan lirih.
Seperti orang yang terkena asma atau sesak napas. Tapi, suara itu justru
terdengar lucu di telinga Kem. Sorot matanya selalu menyiratkan sebuah
kebahagiaan. Bibir tipisnya selalu nampak menggemaskan tiap kali ia tersenyum.
Oh, Tuhan, apa ini yang namanya cinta pada pandangan pertama? Kem membatin.
Angan serta khayalan Kem tentang ia
dan juga Valentine seolah tergambar jelas di benaknya. Ia sudah tak sabar lagi
untuk mewujudkannya. Sejauh kakinya melangkah, sebuah senyum selalu tersungging
di wajahnya. Nampaknya khayalannya itu membuatnya seperti orang gila yang
senang cengar-cengir sendirian. Ia terlalu senang dengan angannya. Langkah
kakinya terus berjalan dengan penuh semangat, seperti hatinya. Namun, baru saja
ia melewati portal di ujung kompleknya, langkahnya sedikit melambat.
Ke mana dia? Tanya Kem membatin.
Matanya menerawang mencari Valentine dari kejauhan. Tak dapat ia temukan jejak
Valentine sedikit pun. Tak ada easel,
tak ada bangku, juga tak ada Valentine di teras rumahnya. Hanya ada halaman
kosong dengan rerumputan yang nampak kering. Ia masih melanjutkan langkahnya
dengan terus bertanya di dalam hatinya, ke mana dia?
Langkahnya terhenti tepat di depan
pagar rumah Valentine. Matanya menerawang, memandangi seluruh halaman rumah
Valentine yang nampak kosong itu. Hanya ada lampu teras yang dibiarkan menyala.
Matanya menelisik, memandangi kaca-kaca di rumah itu yang nampak gelap. Kosong.
Rumah itu seperti tak berpenghuni. Ia ingin memanggil, namun ia takut akan
mengganggu. Maka, ia urungkan niatnya itu.
Apa
aku terlambat datang? Kem menerka-nerka. Keningnya mengerut. Ia mendongakkan
kepalanya, mengalihkan perhatiannya ke langit sore. Apa karena hari ini senja
tak terlalu indah untuk dilukiskan, sehingga dia enggan untuk melukis? atau...
batin Kem terus menerka-nerka dan bertanya-tanya. Dengan sedikit ragu, ia
melangkahkan kakinya untuk pulang. Entah mengapa kakinya kali ini terasa berat
untuk ia gerakkan. Ia seperti enggan meninggalkan rumah itu. Ia hanya berharap
jika esok senja akan kembali indah dan ia bisa bertemu lagi dengan Valentine.
***
Senja ketiga. Hari ini Kem melangkah
pulang dengan sedikit tergesah-gesah. Ada senyum yang merekah di wajahnya. Tak
ada pelajaran tambahan hari ini! batin Kem melonjak kegirangan. Ia bisa pulang
lebih cepat dari hari kemarin. Itu tandanya, ia bisa menunggu di depan rumah
Valentine lebih cepat dari senja.
Siang ini Kem pulang dengan berjalan
sedikit memutar. Ia ingin membeli sesuatu untuk Valentine. Ia teringat dengan
ucapan Doni, teman sekelasnya yang mengatakan jika cowok ingin menunjukkan rasa
sayangnya kepada seorang gadis, maka ia harus memberikannya sesuatu yang sangat
melekat pada gadis itu. Jadi gadis itu akan selalu ingat kepada ‘si pemberi
benda’ bila tiap kali ia memandangi, bermain, atau mengenakan benda itu.
Mendengar itu membuat Kem segera berpikir benda apa yang bisa ia berikan kepada
Valentine agar gadis itu selalu ingat kepadanya.
“Dia sangat senang melukis.
Bagaimana kalau aku belikan dia kuas?” Kem bertanya kepada Doni. Ia sedang
berdiskusi dengan temannya itu.
“Jangan. Kurang bernilai.”
“Lantas apa yang harus kuberikan
padanya?” Kem menyerah ketika semua benda yang disebutkannya tak ada yang
disetujui oleh Doni.
Doni mengernyitkan keningnya. Ia
nampak begitu khusuk berpikir. Wajahnya sedikit tertunduk. Matanya terpejam.
Jemarinya nampak mengetuk-ngetukkan dagunya. Beginilah kalau seorang mak
comblang sudah berpikir serius. Ya, Doni adalah seorang mak comblang yang
namanya sudah tenar di sekolahan. Satu sekolahan tahu bila ia sudah berhasil
menjodohkan lebih dari 20 pasangan di sekolahnya. Makanya Kem tak ragu untuk
meminta pendapatnya soal ini.
“Belikan saja dia bros!” seru Doni
yang seketika membuat gerakan. Kem terperanjat dibuatnya.
“Bros?” Kem mengernyitkan keningnya.
“Apa ada kaitannya bros dengan hobi melukis? Bukankah kau bilang kalau aku
harus memberikan sesuatu yang melekat dengan dirinya.”
Doni berdecak. “Nggak semua.
Terkadang kita harus memberikan sesuatu yang tak terduga, yang membuatnya bisa
menyukai hal baru yang kita berikan,” jelasnya.
Kem mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia seperti baru mendapatkan nasehat dari orang tuanya. Bahkan ia tak pernah
seserius ini mendengarkan saat ia tengah dinasehati orang tuanya. Tapi,
bukankah memang terkadang kita lebih sering mendengarkan nasehat seorang teman
daripada nasehat orang tua. Jaman yang lucu, kan?
Setelah semua penjelasan dari Doni
yang sangat masuk akal, akhirnya diputuskanlah bila Kem akan membeli sebuah bros
berlambangkan bunga mawar untuk Valentine. Bunga mawar adalah lambang supremasi
dari cinta. Tak ada yang meragukan itu. Valentine akan mengenakan bros
berlambang bunga mawar itu dengan penuh cinta. Setidaknya itu yang dikatakan
oleh Doni untuk meyakinkan Kem.
***
Senja keempat. Senja, kini menjadi
hal yang paling menyenangkan bagi Kem. Karena saat senjalah ia bisa bertemu
dengan gadis yang kini telah menjadi pujaan hatinya, Valentine. Namun, nampak
ada yang aneh dengan Valen tepat di hari itu, senja ke-lima mereka. Kem
terlihat seperti orang yang asing baginya. Bahkan mereka seperti tak pernah
saling mengenal sebelumnya. Awalnya Kem menganggap itu hanyalah bercandaan
Valen, namun ternyata Kem salah.
“Pergilah! Aku tak mengenalmu!”
pekiknya dengan mata yang terbelalak. Kem sempat terperanjat dengan sergahan
Valen. Ia tak mengerti mengapa Valen bisa semurka ini kepadanya. Bahkan Kevin
sempat mengaing sambil menundukkan tubuhnya seperti orang yang tiarap saat
mendengar pekikan Valentine tadi. Anjing itu mengira bila ia sedang dimarahi.
“Lihatlah perbuatanmu! Kau telah
membuat Kevin takut seperti ini.” Valentine segera mengangkat anjing itu dan
menggendongnya. Ia membawa anjing itu masuk ke dalam rumahnya. Sementara itu
Kem hanya bisa mematung melihat kepergian Valentine.
Apa
yang salah? Apa aku pernah berbuat salah padanya? Kem membatin penuh tanya. Apa
kepalanya baru saja tertimpa genting rumahnya hingga ia amnesia? Tapi bila iya,
mengapa Valen masih mengenal anjingku? Bahkan ia masih ingat betul nama
anjingku. Tapi bila ia marah padaku, mengapa ia masih mengenakan bros
berlambang mawar di kemejanya yang kuberikan di senja ke-tiga kami? Kem
mengernyitkan dahinya. Ia membatin penuh tanya. Sejak saat itu Kem jadi sedikit
ragu tiap kali ingin menegur Valen saat ia melintas tepat di depan rumahnya. Ia
takut Valen membencinya karena hal yang ia sendiri tak pahami.
Tak ada pertanyaan yang tak ada
jawabannya. Setelah berhari-hari ia tak juga menemukan jawaban dari sikap Valen
yang secara tiba-tiba berubah kepadanya, pada akhirnya, di senja ke-tujuhnya ia
pun mendapatkan jawaban itu. Tepat di bawah langit senja yang kala itu warna
jigganya tengah memudar. Kem duduk di sebuah bangku taman dengan seorang gadis
berwajah mirip dengan Valen. Gadis itu bernama, Rose. Ia adalah kakak Valen. Rose
bercerita tentang adik semata wayangnya itu dan juga penyakit yang dideritanya.
Ya, rupanya sikap Valentine yang tiba-tiba saja berubah itu dikarenakan ia
tengah mengidap sebuah penyakit. Penyakit yang tergolong berat. Bahkan untuk
gadis seusianya. Valentine mengidap alzheimer,
penyakit yang menyerang otaknya.
“Lalu apa yang membuat penyakit itu
berbahaya, kak?” tanya Kem yang masih asing dengan istilah penyakit itu. Bahkan
baginya nama penyakit itu lebih bagus dari nama sebuah negara.
Kak rose nampak menyeka air matanya
yang sempat jatuh membasahi pipinya. Ya, ia bercerita tentang adiknya dengan
suasana yang sedu sedan. Sendunya mengiringi tiap kata yang ia ucapkan. Ia
sungguh tak kuasa menahan kesedihannya bila harus mengingat penyakit yang
diderita adiknya itu. Bahkan ia sempat berharap kepada sang Illahi jika
seandainya bisa, lebih baik penyakit itu dipindahkan kepada dirinya saja.
Sebesar itulah cinta kakak kepada adiknya.
“Dampak
dari penyakitnya itu adalah memorinya akan hilang. Memori jangka panjang maupun
jangka pendeknya secara perlahan akan hilang dari ingatannya,” ia sempat
berhenti sejenak. Ia menatap Kem dalam-dalam. “Termasuk kamu. Ingatannya
tentang kamu pun perlahan akan pudar dan hilang.”
Deg!
Kem tersentak dibuatnya. Dadanya mendadak terasa sesak. Jantungnya terasa
memburu. Kalimat terakhir yang diucapkan kak Rose tadi layaknya tombak yang
menghunjam jantungnya. Sakit dan menyesakkan! Ia mematung. Bibirnya kelu.
Tubuhnya gemetar. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika ia benar-benar sirna
dari ingatan Valentine.
Mengapa
bisa sepert ini? mengapa harus terjadi seperti ini di saat cinta itu mulai
tumbuh dan bersemi? Untuk apa mencintai seseorang jika pada kenyataannya untuk
mengingatku saja ia tak bisa. Kem membatin. Ia tak marah kepada Valentine. Ia
hanya marah kepada keadaan. Mengapa penyakit yang namanya saja sulit untuk
disebut itu harus ada. Mengapa penyakit itu harus menyerang Valentine. Tak
adakah orang lain yang bisa diserangnya?! Kem benar-benar terguncang.
Kak
Rose mendekati Kem. Ia mengelus bahu Kem penuh kehangatan. Ia tahu Kem tengah
terguncang. “Kamu tahu, Kem, kalau kamu adalah teman pertama Valentine,” ujar
perempuan itu lirih.
Kem memandangi kak Rose untuk
sesaat. Ia menggeleng.
Perempuan itu tersenyum simpul. Ia
melepaskan tangannya dari bahu Kem. Untuk Sesaat ia menghela napas panjang.
“Sejak divonis Dokter mengidap peyakit itu dua tahun lalu, Valentine tak lagi
memiliki teman. Karena itu kami memutuskan untuk pindah rumah,” bibirnya
bergetar. Isaknya akan kembali pecah, namun ia mencoba membendungnya.
“Dan kakak dapat sedikit bernapas
lega saat kamu hadir. Kamulah orang pertama yang bisa membuatnya kembali
tertawa. Kamu orang yang membuatnya tak lagi merasa linglung, Kem.”
Kem tersentuh mendengarnya. Ya,
masih melekat betul di benaknya bagaimana Valentine tertawa di senja pertama
dan di senja ketiga mereka. Bahkan senyumnya itulah yang selalu membuat
langkahnya terasa begitu ringan saat pulang sekolah. Senyum yang membuatnya
yakin bila Tuhan memang maha pencipta yang agung. Bahkan Dia bisa menciptakan
makhluk secantik itu.
“Kem. Kakak berharap kamu untuk
tidak menyerah. Kakak berharap kamu tetap berjuang untuk Valentine.”
“Tapi, kak. Bagaimana bisa aku berjuang
untuk seseorang yang bisa melupakanku kapan saja?” tanyanya tergeragap.
Kak Rose menatapnya penuh makna. Ia
tersenyum simpul. “Valentine tak pernah melupakanmu, Kem. Penyakitnyalah yang
memaksanya. Jauh di dalam dirinya, ia begitu mengingatmu, ia juga
merindukanmu.”
“Kenapa kakak bisa seyakin itu?”
Kak Rose masih tersenyum simpul.
Kali ini garis senyumnya lebih panjang. “Ia masih selalu ingat untuk mengenakan
bros yang kamu berikan padanya. Jujur, kakak tak pernah sekalipun memintanya
atau mengenakan bros itu dibajunya. Dialah yang memasangnya sendiri.”
Kem terenyak. Tak disangkanya
ternyata bros itu benar-benar membuat Valentine selalu mengingatnya. Kali ini
ada sorak-sorai yang bergemuruh di dada Kem. Seperti ada harapan yang kembali
nyata. Harapan yang kembali hidup setelah sempat patah dan hancur. Ada senyum
yang merekah di balik sedihnya.
***
Senja bagi Kem tak ‘kan pernah usai.
Ia selalu suka senja semenjak kehadiran gadis itu. Valentine, seorang gadis
pemilik bibir tipis serta dagu yang runcing dan mungil. Kem selalu suka melihat
garis senyumnya yang melengkung di wajahnya, memberikan garis di dagunya yang
mungil dan runcing itu. Membuat kesan manis benar-benar melekat padanya. Kem
juga selalu suka dengan bola matanya yang berwarna hitam. Bola matanya yang
hitam itu selalu terlihat memenuhi seluruh garis matanya yang tipis saat ia tengah
memandangi langit senja dengan teliti.
Bagi Kem, bisa mengenal Valentine
adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan padanya. Ketidak
percayaannya tentang keberadaan bidadari ataupun malaikat tak bersayap selama
ini dapat sirna dengan mudahnya begitu ia mengenal Valentine, gadis pelukis
senja di ujung jalan. Kem tak ingin melepasnya begitu saja. Biarlah bila Valen
tak lagi mengingatnya hari demi hari, senja demi senja, hingga saat ia tak bisa
lagi menggoreskan ujung kuasnya ke permukaan kanvas yang kasar itu. Kem akan
selalu ada untuknya. Selalu ada di sisinya untuk menyingkirkan sedikit
kesepiannya akan seseorang yang ia butuhkan. Kem tak peduli dengan penyakit
yang namanya begitu asing baginya itu. Walaupun ia harus berulang kali
memperkenalkan dirinya kepada Valen, menganggap dirinya sebagai orang yang baru
dikenal oleh Valen, ia akan terus melakukan itu. Walau Kem tahu bila ceritanya
bersama Valen hari ini akan hilang dari memorinya saat esok menjelang. Ia tak lagi
peduli. Kem ingin melakukan itu karena ia tahu bila Valentine telah memberikan
warna di dalam hari-harinya. Seperti senja yang memberikan warna jingga kepada
langit biru. Bagi Kem, Valentine adalah senja yang selalu ia nanti di ujung
jalan ini.
Kini, Kem mengerti bila cinta memang
tak selalu bisa diucapkan, tapi cinta selalu bisa ditunjukkan. Cinta memang tak
selalu bisa dimiliki, tapi cinta selalu bisa diperjuangkan.
Hanya
satu hal yang selalu menjadi bekal Kem untuk dapat selalu berada di dekat
Valen. “Valentine tak pernah lupa dengan melukis dan ia juga tak pernah lupa
bila ia sangat menyukai anjing,” begitulah ucapan Rose yang selalu terngiang di
benak Kem.
***
“Sori.
Anjing aku ngeganggu, ya?”
“Enggak kok. Nggak sama sekali.
Kebetulan aku juga suka anjing.”
“Oh,
ya? kenalin, nama aku Kem.”
“Aku
Valen... Valentine”
-End-
NB: Cerpen ini telah terpilih dan diterbitkan bersama di dalam buku "JATUH CINTA DIAM-DIAM 2 (DWITASARI & FRIENDS)" terbitan Bentang Pustaka.
udah lama gak baca cerpen seru juga... thanks
BalasHapusHmmm endingnya tuh kayak nyesek T_T
BalasHapusTapi di sisi lain ada yang bisa diambil